] Mahasiswanya Mahasantri - Lihun Badry

Mahasiswanya Mahasantri


Mahasiswanya Mahasantri


Hening yang kadang singgah menghampiri, bergelut dengan buku dan kitab yang terus menjadi rutinitas, bulpen dan buku yang menjadi teman setia dalam setiap langkah pendidikan, dan segalanya tentangku, tentang kuliahku dan pesantrenku. Aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu dalam kisah singkat ini, aku adalah gadis berusia 22 tahun saat ini, kelahiran kota Lamongan, 27 Januari 1998. Kini bisa dikatakan selama lebih dari 7 tahun aku adalah anak rantau, bukan karena mencari vinansial, aku merantau karena sebuah tuntutan ilmu penidikan yang telah diamanahkan padaku oleh kedua orang tuaku, sebagai tanda pengabdian dan terimah kasihku pada beliau berdua, aku beranikan diriku jauh dari mereka, pergi dari kota tempat tinggalku (Lamongan) ke kota orang, kota Pasuruan tempatku menuntut ilmu yang aku tak kenal siapapun pada waktu itu,. Ya… pada waktu dimana aku genap berusia 15 tahun, setelah hari kelulusanku di sekolah jenjang SLTP ku, tepat pada tanggal 07 Juli 2013 aku dibawa oleh kedua orang tuaku untuk mendalami ilmu agama, khususnya mendalaminya dalam sebuah Pondok Pesantren ternama di kota Pasuruan, kota yang menjadi tempat tinggalku saat ini.
Aktifitas barupun aku mulai dengan segala keterpaksaan pada awalnya, semua harus dilakukan serba sendiri, semua harus dilakukan dengan mandiri, tanpa ada pihak keluarga yang mengarahkan seperti dulu ketika masih bersama mereka. Namun lambat laun, semua berlalu dengan sendirinya, meski kadang penuh cerita pilu yang kupendam karena jauh dari sandaran orang tuaku. Semua mulai berjalan dengan biasa karena beberapa wejangan yang setiap hari kuterima dari lingkungan baruku (Pesantren), mulai dari wejangan sang Kiai, wejangan ibu Nyai, wejangan putra-putri Kiai, dan semua Ustadz-Ustadzah yang ada di Pesantren tempatku menuntut ilmu. Hingga 3 tahun berlalu, aku lulus dari jenjang SLTA ku di kota tempat tinggalku saat ini, khususnya lulus sebagai siswi SMA dan menyandang gelar santrinya. Saat itu, akupun mulai memikirkan jenjang pendidikan baruku (kuliah), ini aku fikirkan sejak aku masih duduk di bangku kelas 3 SLTA, kemana akan aku bawa langkah dan nasib pendidikanku selanjutnya, semua aku usahakan, semua aku ikhtiyarkan, mulai dari meminta dan bicara dengan orang tuaku, konsultasi dengan Bapak/Ibu guruku dan juga teman-temanku. Impian untuk bisa kuliah di PTN ternamapun terlintas dibenakku, segala langkah aku usahakan, namun pada akhirnya keputusan dan restu terakhir sebagai finish adalah aku tetap melanjutkan jenjang kuliah di Pondok Pesantrenku yang kebetulan juga telah memfasilitasi pendidikan tingkat RA-Kuliah. Dan semua perjuangan akan dimulai, mulai dari kuliahku, perjuanganku, organisasiku, pesantrenku, dan segalanya tentangku sebagai Mahasiswa dan juga Mahasantri dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun.
Ospek pun dimulai, pagi-pagi sekali hampir jam dinding tepat menunjukkan angka 06.00, semua Mahasiswa baru mulai berantusias menyiapkan segalanya untuk keperluan ospek yang telah disyaratkan oleh panitia sebelumnya. Disinilah awal ceritaku, pada hari sebelum masa orientasi dimulai, saat semua anak lainnya yang tidak mengenyam pendidikan di pesantren pada waktu itu (kebetulan Universitas yang ada di Pesantrenku menerima Mahasiswa meski tidak menjadi santri) akan dengan mudah mempersiapkan segala keperluan ospek kampus, namun aku dan kawan-kawanku yang kebetulan masih mengenyam dunia Pesantren, berusaha mengatur jadwal bagaimana caranya ketika persiapan yang dilakukan tidak mengganggu jadwal mengaji di Pesantren, untuk keluar dari Pesantren itu pun memerlukan izin yang harus menyetorkan alasan yang benar-benar masuk akal untuk kita bisa keluar pergi membeli segala keperluan ospek pada saat itu. Aku keluar dari Pesantren 2 hari sebelum masa ospek dimulai, tepat pukul 08.00 aku ke kantor asrama dengan menyiapkan berbagai alasan mengapa aku harus keluar Pesantren untuk membeli keperluan ospek, awalnya memang tidak diperbolehkan.
“Mbak saya mau izin“ kataku pada salah satu keamanan Pesantren
“kemana” sahut salah satu kepengurusan
“ke pasar mbak membeli keperluan ospek untuk lusa” jelasku
“nunggu hari berkunjung saja ya… suruh ibunya membelikan semua keperluan ospek” saran kepengurusan padaku
“saya harus pergi ke pasar sekarang mbak, ibu tidak ada hari untuk berkunjung sampai hari ospek dimulai, saya kan orang jauh, jarang-jarang ibu bisa datang hanya untuk memberikan keperluan ospek” rengekku pada salah satu kepengurusan
            Dimana aku sangat jarang dikunjungi oleh kedua orang tuaku, mengingat bahwa jarak kotaku dan kota tempat tinggalku cukup jauh, Ibu dan Ayahku hanya mengirim uang lewat ATM yang aku gunakan sampai saat ini, tidak ada jadwal khusus berkunjung seperti kawan-kawanku lainnya, Ibu hanya menasehatiku dan berkata “bahwa segala kesuksesan itu butuh sebuah perjuangan, jadi aku harus sabar dan tidak boleh berkecil hati dalam mengenyam bangku pendidikan”. Itulah wejangan sakti yang aku pegang hingga saat ini.
“Ya sudah… tapi hanya 3 jam ya jatah untuk keluar ke pasar” tegasnya (pengurus Pesantren)
“baik mbak” nada bahagiaku karena mampu menyiapkan hari istemewaku sesegera mungkin
Dan disinilah dimulai pertanggungjawabanku akan waktu yang diberikan oleh pihak kepengurusan Pesantren. Aku gunakan waktu yang diberikan semaksimal mungkin, meski kadang menyiapkannya serba terburu-buru, namun tidak jadi masalah, asal semua keperluan ospek dapat dipenuhi dengan baik.
Tidak cukup disitu, terlepas dari masalah persiapan ospek,  jika semua Maba pada saat itu bisa untuk sarapan pagi-pagi yang disiapkan oleh ibu mereka, aku dan kawan-kawanku harus rela mandi pagi dengan antrian yang begitu panjang, aku bahkan bangun malam pukul 03.00 pagi demi mendapatkan air yang cukup untuk mandi, yang hasilnya kita akan mengantuk saat kegiatan ospek dilakukan, aku mandi pagi demi dapat bisa keluar asrama untuk mencari sarapan, karena kebetulan kantin asrama menyediakan makanan mulai pukul 08.00 pagi karena dikategorikan sebagai asrama Mahasiswa yang jam masuknya pasti tidak begitu pagi seperti anak sekolah. Perjuanganku selanjutnya, jika sepulang ospek semua Maba bisa tidur beristirahat dengan tenang dikamar rumah mereka, aku dan kawan-kawanku di Pesantren harus tetap mengikuti kegiatan Pesantren yang hampir setiap hari menjadi rutinitas wajib yang harus diikuti oleh semua santri, mulai dari ngaji sorogan setiap ba’da shubuh, mengaji bandongan setiap sore, mengaji Al-Qur’an selesai maghrib dan sekolah diniyah setelah sholat isya’ yang hampir semuanya selesai sampai pukul 10.00 malam. Bayangkan! betapa lelahnya aku dan kawan-kawanku, namun itu semua menjadi perjuangan yang begitu asyik karena kawan-kawan dipesantren begitu menikmati semua kesibukan dengan rasa ikhlas dan sabar. Seusai itu, aku pun beristiahat dengan tenang di kamar yang disediakan Pesantren, yang jumlah penduduknya hampir 30 kepala, cukup sesak memang, tapi itu sudah menjadi tempat istirahat terbaik bagiku.
Selesainya masa ospek, mulailah semua organisasi mengibarkan bendera kebanggaannya masing-masing untuk menarik semua adik-adik Mahasiswa baru agar ikut dalam organisasi kebanggaan mereka,  jajaran senior organisasi sudah berjejer rapi di halaman kampus untuk menyambut Mahasiswa baru, ya… itulah jiwa idealismenya Mahasiswa yang tidak dimilki siapapun, membela kebenaran, melakukan pergerakan, sebagai agen perubahan sosial dan lain sebagainya, dan disisi itu, akupun tertarik untuk dapat menjadi Mahasiswa pergerakan, kawanku pun banyak yang berminat, walau sebagian juga anak pesantren yang sudah tahu resiko yang akan dihadapi ketika santri juga berorganisasi, namun rasa ingin tahuku mengalahkan segala doktrin sulitnya santri yang berorganisasi, aku bulatkan tekat untuk mengikuti salah satu Omek yang ada dikampus, itu semua tidak lepas dari bujuk rayu para senior organisasi dan ajakan kawan-kawanku. Namun kepercayaan diriku bahwasannya aku bisa mengatur waktuku dengan baik, menjadi alasan utama aku memutuskan sebagai santri berorganisasi tanpa peduli apapun resikonya, mulai dari jam kuliah, organisasi, dan ngaji, kurasa semua tidak akan ada masalah. Perjuangan naik levelpun dimulai, hehehe.
Layaknya organisasi pada kampus lainnya, meski kampusku tergolong kampus yang mayoritas Mahasiswanya santri Pondok Pesantren, akan ada pergerakan-pergerakan yang terus dilakukan sebagai usaha dan wadah untuk belajar bagi para Mahasiswa dibirokrasi perguruan tinggi, akupun ikut serta dalam setiap ajang yang diselenggarakan, mulai dari seminar, rapat, pergerakan, turun ke jalan dan lain sebagainya. walaupun aku tak pernah bisa menjangkaunya secara menyeluruh, mengingat bahwa diriku masih bersama peraturan Pondok Pesantren dan sadar bahwa diriku adalah santri yang terus dilindungi dan dipantau oleh pengasuh dan kepengurusan Pesantren, sebagai bentuk tanggung jawab beliau-beliau terhadap orang tuaku akan kesuksesan dan terjaganya diriku dari pengaruh kehidupan di luar sana. Namun disisi lain, terbesit iri dan marah yang bergejolak dihatiku, disaat semua Mahasiswa pergerakan bisa sampai malam melakukan aktifitas pergerakannya, aku harus ikhlas bahwa waktuku hanya sampai pukul 04.00 sore. Disaat diadakannya rapat diluar lokasi pesantren, akupun harus merelakan diri untuk tidak bisa mengikutinya karena peraturan yang mengikatku, disaat semua sibuk saling tukar informasi dengan android mereka dengan jangkauan informasi yang begitu luas, akupun hanya bisa menerima informasi lewat sms (karena fasilitas handphone bagi Mahasiswa juga Mahasantri adalah handphone standart yang hanya bisa digunakan untuk sms dan panggilan, tapi untungnya ada laptop yang diperbolehkan meski jam pengunaannya terbatas), disaat semua Mahasiswa pergerakan bisa turun ke jalan kapanpun acara diselenggarakan, aku dan kawan-kawan Mahasiswa yang dipesantren tak bisa berharap lebih akan hadirnya kita dalam acara itu, kecuali kalau hari libur pesantren tiba, itupun peluangnya sangat minim, karena tidak mungkin pergerakan dilakukan menyesusaikan hari libur pesantren.
Terlepas dari itu semua, terlepas dari gejolak hatiku, dan terlepas dari perjuanganku selama menjadi Mahasiswa dan Mahasantri, ada salah satu wejangan yang aku terima dari Neng Khurrotin, selaku Pengasuh tempat asramaku tinggal, wejangan yang membuatku bangkit dan tumbuh menjalankan job sesuai kondisi dan keadaanku, khususnya memang wejangan itu diperuntukkan bagi para santri yang ikut organisasi. “rek, oraganisasi iku saling melengkapi, seng gak mondok kudu melakukan pergerakan diluar pondok, seng mondok kudu mempeng ngaji lan belajar, ibarat.e wong perang, onok seng dadi tembak.e lan ngatur strategine, onok seng bagian ngisi pelurune gae nembak serangane, lah… seng ndek pondok bagian ngisi pelurune, ora usah iri nang Mahasiswa jobo seng bagian nyusun strategine” kalau diterjemahkan wejangan itu kurang lebih berbunyi “ organisasi itu harus saling melengkapi, yang tidak mondok harus melakukan pergerakan diluar pondok, yang mondok dan menjadi santri harus tetap giat mengaji dan belajar, ibaratnya orang perang, ada yang menjadi pistolnya dan mengatur strategi perangnya, ada yang bagian mengisi pelurunya untuk bisa dibuat menembak serangannya, maka dari itu, santri yang berorganisasi jangan iri sama Mahasiswa pergerakan yang bagian mengatur strateginya organisasi”.
Perjalananpun terus aku lalui, sebagai Mahasiswa juga Santri yang berorganisasi, hingga kini aku menumpuh mata kuliah skripsi, dimana menjadi tugas akhir untuk menyandang gelar S.AB sebagai Mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis di Universitasku. Mereka yang tak pernah ada diposisiku akan merasa kesulitan dalam menyelesaikan kuliah hingga tingkat akhir, dengan hanya bermodalkan handphone standart dan fasilitas laptop yang terbatas, namun bagiku semua jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan bermodalkan patuh, dengan kepercayaan dan usaha sesuai kondisi dan kemampuan, semua tak akan ada yang tidak berhasil, yang kini aku buktikan bahwa aku mampu menempuh jenjang kuliah dengan IPK di atas 3.5 dan insyaallah akan lulus tepat waktu di tahun 2020 ini, yang aku buktikan juga bahwa aku mampu menyelesaikan jenjang pendidikan di Pesantrenku tingkat wusthiyah (dimana menjadi jenjang akhir bagi para santri di Pondok Pesantren, sebagai tolok ukur telah menyelesaikan belajar kitab sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan) yang insyaallah kelulusan itu akan dilaksanakan pada bulan April 2020, 2 bulan yang akan datang. Menjadi Mahasiswa dan Santri yang berorganisasi adalah kisah indah yang pernah terukir dalam hidupku, yang tidak bisa aku ceritakan secara detail di kisah singkatku kali ini, hanya saja aku terkadang mengenang berbagai perjuangan dimana aku dituntut lolos dan membuktikan bahwa santri yang berorganisasi tidak akan kalah IPK nya dengan mereka yang tidak berorganisasi dan juga tantangan banhwa Santri yang beorganisasi akan mampu menyelesaikan jenjang pendidikannya di Pesantren dengan baik, itulah tantanganku selama ini, hingga mengantarkanku pada kisah Mahasiswanya Mahasantri adalah perjuangan yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang percaya, bahwa semua bisa kita lakukan dan selesaikan dengan baik, asalkan kita patuh dan berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditentukan.
Mungkin cukup disini kisah perjalananku, semoga kisah ini mampu aku syarai dilain kesempatan, semoga Tuhan memberikan kekuatan dan kesempatan dalam menuangkan kisah Mahasiswanya Mahasantri ini dalam bentuk novel yang mampu dinikmati oleh mereka-mereka yang merasakan perjuangannya santri yang berorganisasi.

0 comments:

Post a Comment